Anak Angkat Yang Pengen Nenen Pada Ibu Angkat

Sampai saat ini, Marie masih belum juga hamil, padahal ia dan mas Kenbo tidak pernah lelah berusaha. Ah, mungkin memang belum rejekinya. Marie berusaha menerima dengan ikhlas dan lapang dada. Toh kini sudah ada Boy yang menemani hari-harinya. Dan bagusnya, bocah itu bisa bertindak lebih dari sekedar anak.

Itu dibuktikan Boy saat mereka berbincang berdua sambil menunggu mas Kenbo yang bekerja lembur. Berdua mereka duduk di sofa ruang tengah, di depan televisi. Mereka mengobrol banyak, mulai dari sekolah Boy hingga saat-saat intim mereka berdua yang menjadi semakin sering.

”Kamu nggak bosen nenen sama Umi?” tanya Marie sambil membelai rambut Boy yang lagi-lagi tenggelam ke belahan buah dadanya.
Dengan mulut penuh payudara, Boy berusaha untuk menjawab, ”Ehm… enggak, Susu umi enak banget!”
”Saat aku kocok gini, enak juga nggak?” tanya Marie yang tangannya mulai menerobos ke dalam lipatan sarung Boy.

Boy melenguh pelan saat merasakan jari-jari Marie melingkupi batang kemaluannya dan mulai mengocok pelan benda coklat panjang itu. ”Hmm, enak, Mi.” sahutnya jujur.

Marie tersenyum, dan melanjutkan aksinya. Terus ia permainkan batang penis sang putra angkat hingga Boy melenguh kencang tak lama kemudian. Badan kurusnya kejang saat spermanya berhamburan mengotori sarung dan tangan Marie. Mereka terdiam untuk beberapa saat. Marie memperhatikan tangannya yang belepotan sperma, dan selanjutnya mengelapkan ke sarung Boy. Lalu dipeluknya bocah itu penuh rasa sayang.

”Terima kasih, Mi.” gumam Boy di sela-sela pelukan mereka.

Marie mengecup pipinya lalu membimbing anak itu untuk pindah ke kamar, sekarang sudah waktunya untuk tidur. Tapi Boy tidak langsung beranjak, ia tetap duduk di sofa, sementara Marie sudah berdiri di hadapannya. Boy menengadah memandangnya dengan tatapan sayu. Dengan nada bergetar, bocah itu berucap, ” Boy sayang Umi,” sambil mulutnya mendekat untuk mencium kemaluan Marie.

Marie jadi bingung, mau menolak, tapi takut membuat Boy kaget dan malu. Dibiarkan, ia tahu apa yang diinginkan bocah kecil itu. Belum sempat menjawab, tangan Boy sudah menyusup ke balik dasternya untuk mengusap paha Marie dari luar. Dan terus makin ke atas hingga menemukan CD yang membungkus pantat bulatnya.

Marie sedikit terhentak saat Boy memegang dan menarik turun kain mungil) itu. ”Ah, Boy! Apa yang kamu lakukan?” teriaknya, tapi tetap membiarkan sang putra angkat menelanjangi dirinya. Ia berpikir, mungkin Boy hanya akan menciumnya sesaat saja.

Tapi tebakannya itu ternyata salah. Memang Boy cuma mencium pelan, hanya bagian luar yang dijamah oleh bocah kecil itu. Tapi itu cuma awal-awal saja, karena selanjutnya, saat melihat tidak ada penolakan dari diri Marie, iapun melakukan yang sebenarnya,

Boy mengangkat salah satu kaki Marie ke sandaran sofa hingga kini selangkangan sang ibu angkat terbuka jelas di depan matanya. Diperhatikannya kemaluan Marie yang basah merona kemerahan untuk sesaat, sambil tangannya meremas dan mengelus-elus bongkahan pantat Marie dengan gemas.

”Ehm,” Marie melenguh, tubuh sintalnya mulai bergetar. Ia yang awalnya ingin menolak, kini malah terdiam mematung. Marie pasrah saja saat bibir kemaluannya mulai disentuh oleh Boy, dari mulai jilatan yang sopan hingga semakin lama menjadi semakin gencar. Akhirnya Marie malah merapatkan kemaluannya ke bibir Boy dan tanpa sadar mulai menggoyangkan pinggulnya. Aksinya itu membuat Boy semakin leluasa menciumi lubang kemaluannya.

”Ough…” Marie merasakan lidah Boy semakin kuat menari dan menjelajahi seluruh lekuk kemaluannya.

Ia merasakan cairan kewanitaannya semakin deras mengalir seiring dengan rangsangan Boy yang semakin kuat. Entah darimana bocah itu belajar, tapi yang jelas, jilatan dan hisapannya sungguh terasa nikmat. Tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh mas Kenbo membuat Marie merintih kegelian, namun terlihat sangat menyukai dan menikmatinya. Ia elus-elus kepala Boy yang terjepit diantara pangkal pahanya, hingga akhirnya tubuhnya mengejang dan menekuk kuat tak lama kemudian.

Boy yang tidak mengetahui kalau Marie akan mencapai puncak, terus menghisap kuat-kuat disana. “Uuhh…” didengarnya sang ibu angkat melenguh sambil menghentak-hentakkan pinggulnya. Dari dalam lubang surga yang tengah ia nikmati, mengalir deras cairan bening yang terasa agak sedikit kecut.

Baunya pesing, seperti bau air kencing. Cepat Boy menarik kepalanya, tapi tak urung, tetap saja beberapa tetes air mani itu membasahi mukanya. Diperhatikannya Marie yang saat itu masih merapatkan kaki dengan tubuh mengejang-ngejang pelan. Selanjutnya, tanpa suara, istri Kenbo itu jatuh lunglai ke atas sofa, menindih badan kurus Boy ke dalam pelukannya.

Mereka terdiam untuk beberapa saat. Marie berusaha untuk mengatur nafasnya, sementara Boy dengan polos melingkarkan tangan untuk mengusap-usap bokong bulat Marie yang masih terbuka lebar.

”D-darimana kamu b-belajar seperti i-itu, Boy?” tanya Marie saat gemuruh di dadanya sedikit mulai tenang.
Boy memandangnya,
”Dari Umi,” jawabnya polos.
“Jangan ngawur kamu, Umi nggak pernah ngajarin yang seperti itu.” sergah Marie sedikit berang.
“Memang nggak pernah, tapi Umi pernah memintanya.” sahut Boy.
“Meminta? Maksud kamu…”

Boy pun berterus terang. Kemarin ia memergoki kedua orang tua angkatnya bercinta di ruang tengah, di sofa dimana mereka tengah berpelukan sekarang. Saat itu Marie meminta agar mas Kenbo mengoral kemaluannya, tapi laki-laki itu menolak dengan alasan jijik dan dilarang oleh ajaran agama.

Marie memang kelihatan kecewa, tapi bisa mengerti. Boy yang terus mengintip jadi menarik kesimpulan; perempuan suka jika kemaluannya dijilat. Dalam hati Boy berjanji, ia akan melakukannya untuk membalas budi baik Marie yang selama ini sudah merawat dan menyayanginya.

”Kamu sudah salah paham, Boy,” di luar dugaan, bukannya senang, Marie malah terlihat ketakutan.
”Kenapa, Mi?” tanya Boy kebingungan.
“Setelah menjilat, kamu pasti akan melakukan hal lain, seperti yang kamu tonton kemarin malam. Benar kan?” tuduh Marie.

Boy terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Memang sempat terbersit di hati kecilnya untuk melakukan apa yang sudah diperbuat kedua orang tua angkatnya. Sepertinya nikmat sekali. Sebagai seorang remaja yang baru tumbuh, ia jadi penasaran, dan ingin merasakannya juga. Boy sama sekali tidak mengetahui kalau itu sangat-sangat dilarang dan tidak boleh.

“Ah, ini salah Umi juga.” keluh Marie, pelan ia menarik tubuhnya dan duduk di sisi Boy.

Tangan Boy yang terulur untuk memegangi bongkahan payudaranya, ditepisnya dengan halus. Boy jadi terdiam dan menarik diri Marie merapikan bajunya kembali.

“M-maaf, Mi.” lirih Boy dengan muka menunduk, sadar kalau sudah melakukan kesalahan besar.
“Tidak apa-apa. Tapi mulai sekarang, jangan nenen sama Umi lagi, kamu sudah besar.” putus Marie sambil bangkit dan beranjak menuju kamar, meninggalkan Boy sendirian di ruang tengah menyesali kebodohannya.

Esoknya, Marie menyiapkan sarapan dalam diam. Dia yang biasanya ramah dan ceria, hari ini terlihat seperti menanggung beban berat. Mas Kenbo bukannya tidak mengetahui hal itu, tapi dia mengira Marie cuma lagi PMS saja. Tapi setelah ditunggu berhari-hari, dan sang istri tercinta tetap cemberut saja, bahkan cenderung keras hati, iapun mulai curiga.

”Ada apa, Mer? Kuperhatikan, kamu berubah akhir-akhir ini. Ceritakanlah, siapa tahu aku bisa membantu.” Marie menggeleng,
”Ah, nggak, Mas. Tidak ada apa-apa, aku cuma lagi capek aja.”
”Jangan bekerja terlalu keras. Ingat, kita kan lagi program hamil.” Mas Kenbo mengingatkan.

Marie berusaha untuk tersenyum, ”Iya, Mas.” Dan saat sang suami merangkul lalu mengecup bibirnya untuk diajak menunaikan sunnah rasul, iapun berusaha melayani dengan sepenuh hati. Siapa tahu, dengan begitu ganjalan di relung hatinya bisa cepat sirna.

Tapi harapan tetap tinggal harapan. Bukannya hilang, hatinya malah semakin resah. Apalagi saat melihat Boy yang mulai menjauhinya. Bukan salah bocah itu juga, Marie juga jarang mengajaknya bicara berdua seperti dulu. Sejak peristiwa di ruang tengah itu, mereka jadi seperti dua orang asing, hanya saat benar-benar perlulah mereka baru bertegur sapa.

Di sisi lain, Marie juga seperti kehilangan sesuatu. Penis Boy yang besar dan panjang terus menghantui pikirannya, juga jilatan dan hisapan bocah itu di atas gundukan payudaranya, dan yang terutama, kuluman Boy di lubang vaginanya yang sanggup mengantar Marie meraih orgasmenya.

Semua itu ia rindukan, meski dalam hati terus berusaha ia bantah. Tapi tak bisa dipungkiri, pesona Boy sudah menjerat nafsu birahinya. Kalau dia yang beriman saja merasa seperti ini, bagaimana dengan Boy yang ingusan? Bocah itu pasti lebih menderita.

Marie mulai meneteskan air mata. Pikirannya kacau, campur aduk antara ingin menolak dan minta ditiduri oleh Boy. Ada rasa ingin merasakan, tapi juga ada rasa takut akan dosa. Tapi adzan subuh yang berkumandang lekas menyadarkannya, cepat ia menghapus air mata dan mengambil air wudhu. Ia harus tegar. Ini perbuatan maksiat. Sangat salah dan berdosa. Tidak boleh diteruskan. Kalau tidak, akan percuma lantunan tobatnya selama ini.

Tapi benarkah seperti itu?
Semuanya berubah saat Marie menerima surat panggilan dari sekolah keesokan harinya. Boy memberikannya dengan takut-takut, ”M-maaf, Mi.” gagap bocah kecil itu.
Tidak menjawab, Marie menerimanya dan membacanya di kamar. Siangnya, bersama Boy, ia pergi ke sekolah.

”Nilai-nilainya turun, Bu. Sangat jelek sekali.” kata ibu kepala sekolah yang gemuk berjilbab.
Marie berusaha untuk tersenyum dan meminta maaf.

”Mungkin ada masalah di rumah?” tanya ibu kepala sekolah. ”Dulu Boy itu sangat pintar, salah satu yang terpandai di kelas. Tapi sepertinya sekarang lagi mengalami penurunan motivasi.”
”Emm, sepertinya tidak ada.” jawab Marie berbohong, padahal dia sangat tahu sekali apa yang dipikirkan anak angkatnya itu.
”Baiklah, saya harap ibu membantu kami untuk mengembalikan semangat belajarnya. Kalau begini terus, ia bisa tidak naik kelas.” pesan ibu kepala sekolah sebelum mengakhiri pertemuan itu.

Marie pun mengucapkan terima kasih dan memohon diri. Dilihatnya Boy yang meringkuk ketakutan di sampingnya. Dipeluknya bocah kecil itu dan berbisik, ”Umi tunggu di rumah, belajar yang rajin ya…”

Boy mengangguk. Mereka pun berpisah, Marie kembali ke rumah, sementara Boy meneruskan pelajarannya.

Sorenya, saat pulang dari sekolah, Boy mendapati ibunya menyambut di ruang tamu. Wanita itu memeluknya dengan erat.
”Maafkan Umi, Boy. Gara-gara Umi, kamu jadi begini.” kata Marie lirih sambil berlinang air mata.

Belum sempat Boy berkata, Marie sudah menunduk dan melumat bibirnya dengan lembut. Dicium untuk pertama kali, tentu saja membuat Boy jadi gelagapan, tapi ia cepat belajar. Saat bibir Marie terus mendecap dan menempel di bibirnya, iapun mengimbangi dengan ganti melahap dan menghisapnya rakus. Dinikmatinya lidah sang bunda yang kini mulai menjelajah di mulutnya.

”Ehmm… Mi,” Boy melenguh, sama sekali tak menyangka kalau akan diberi kejutan menyenangkan seperti ini.
”Sst…” Marie kembali membungkam bibirnya. ”Diam, Sayang. Umi ingin menebus kesalahan kepadamu.” Pelan Marie menarik tangan Boy dan ditempelkan ke arah gundukan payudaranya. ”Kamu kangen ini kan?” tanyanya sambil tersenyum m Marie.

Dengan polos Boy mengangguk dan mulai meremas-remas pelan. Jari-jarinya memijit untuk merasakan tekstur bulatan yang sangat menggairahkan itu. Seperti biasa, ia tidak bisa mencakup seluruhnya, payudara itu terlalu besar. Boy bisa merasakan kalau Marie tidak memakai BH, tubuh sintalnya cuma dibalut daster hijau muda yang sangat tipis sehingga ia bisa menemukan putingnya dengan cepat.

“Mi,” sambil memanggil nama sang bunda, Boy meneruskan jelajahannya. Ia tarik tali daster Marie ke bawah hingga baju itu turun ke pinggang, menampakkan buah dada sang bunda yang sungguh besar dan menggiurkan. Boy memandanginya sebentar sebelum lehernya maju untuk mulai mencucup dan menjilatinya, sambil tangannya terus meremas-remas pelan.

Marie merebahkan diri di sofa, dibiarkannya Boy menindih tubuhnya dari atas. Bibir bocah itu terus menelusur di sepanjang bukit payudaranya, mulai dari pangkal hingga ujungnya, semuanya dihisap tanpa ada yang terlewat. Beberapa kali Boy membuat cupangan-cupangan yang membikin Marie merintih kegelian.

Terutama di sekujur putingnya yang mulai kaku dan menegang, baik yang kiri maupun yang kanan. Boy menghisap benda mungil kemerahan itu dengan begitu rakus, ia mencucupnya kuat sekali seolah seluruh payudara Marie ingin dilahap dan ditelannya bulat-bulat. Tapi tentu saja itu tidak mungkin.

“Ehmmm…” merintih keenakan, Marie membimbing salah satu tangan Boy untuk turun menjamah kemaluannya yang sudah sangat basah. Ia sudah menanti hal ini dari tadi. Sepulang sekolah, Marie berpikir dan merenung, Boy jadi malas belajar karena perseteruan mereka tempo hari. Maka, untuk meningkatkan kembali semangat bocah kecil itu, inilah yang bisa ia lakukan. Marie akan memberikan tubuhnya!

Jangan dikira mudah melakukannya. Marie sudah menimbang dengan matang, memikirkan segala resikonya, dan tampaknya memang inilah jalan yang terbaik. Selain bagi Boy, juga bagi dirinya sendiri. Karena tak bisa dipungkiri, Marie menginginkannya juga, hari-harinya juga berat akhir-akhir ini.

Pesona kemaluan Boy yang besar dan panjang terus mengganggu tidur malamnya. Mas Kenbo yang selalu setia menemani di atas ranjang, mulai tidak bisa memuaskannya. Memang penisnya juga besar dan panjang, tapi entahlah, dengan Boy ia seperti mendapatkan sensasi tersendiri. Sensasi yang membuat gairah dan birahinya berkobar kencang. Sama seperti sekarang.

Bergetar semua rasa tubuh Marie begitu Boy mulai memainkan jari di lubang vaginanya. bocah itu menggesek-gesek kelentitnya pelan sebelum akhirnya menusukkan jari ke dalam lubangnya yang sempit dan gelap. ”Ough,” Marie merintih nikmat. Di atas, bibir Boy terus bergantian menjilati puting kiri dan kanannya sambil sesekali menghisap dan menggigitnya rakus.

Marie mendorong kepala bocah kecil itu, meminta Boy untuk beranjak ke bawah. Boy yang mengerti apa keinginan sang bunda, segera menurunkan ciumannya. Ia jilati sebentar perut Marie yang masih langsing dan kencang sebelum mulutnya parkir di kewanitaan perempuan yang sudah membiayai hidupnya itu.

”Jilat, Boy!” Marie meminta sambil membuka kakinya lebar-lebar, memamerkan kemaluannya yang sudah becek memerah pada Boy.

Si bocah menelan ludah, memandangi sebentar lubang indah yang terakhir kali dilihatnya sebulan yang lalu itu. Perlahan mulutnya turun saat Marie menarik kepalanya. Boy menjulurkan lidah dan mulai menciuminya. Ia lumat bibir tipis yang tumbuh berlipat-lipat di tengah permukaannya.

Bulu kemaluan Marie yang tercukur rapi juga diciuminya dengan senang hati. Marie merasakan Boy membuka bibir kemaluannya dengan dua jari. Dan saat terkuak lebar, kembali lorongnya dibuat mainan oleh bocah kecil itu.

Lidah Boy bergerak liar, juga cepat dan sangat dalam. Namun yang membuat Marie tak tahan adalah saat lidah bocah itu masuk diantara kedua bibir kemaluannya sambil menghisap kuat-kuat kelentitnya. Lama tidak bertemu, rupanya Boy jadi tambah lihai sekarang.

Diam-diam Marie bersyukur dalam hati, rupanya ia tidak salah membuat keputusan. Memang, ia tahu ini dosa -salah satu dosa besar malah- tapi kalau rasanya senikmat ini, ia sama sekali tidak menyesal telah melakukannya.

Boy terus memainkan kemaluan Marie. Mulutnya menghisap begitu rakus dan kencang, hingga dalam beberapa menit, membuat sang bunda jadi benar-benar tak tahan. ”Auw… arghh!” Mengejang keenakan, Marie pun berteriak sekuat tenaga sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Kelentitnya yang sedang dijepit oleh Boy, berkedut kencang saat cairannya menyembur deras membasahi lantai ruang tamu.

”Hah, hah,” terengah-engah, Marie meremas pelan rambut Boy yang duduk berjongkok di lantai.
”Enak, Mi?” tanya bocah kecil itu dengan polos, matanya menatap sang bunda sebelum beralih memandangi selangkangan Marie yang masih mengucurkan sisa-sisa cairan orgasmenya.

Marie mengangguk, ”Nikmat banget, Sayang.” bisiknya sambil berusaha untuk bangkit.
”Mau kemana, Mi?” tanya Boy cepat, takut tidak mendapatkan jatahnya.
”Kita pindah ke kamar, disini terlalu berbahaya, nanti dipergoki sama tetangga.” sahut Marie.
Ditariknya tangan sang putra untuk masuk ke dalam rumah. Beriringan mereka menuju kamar.
”Kamarmu,” kata Marie saat melihat Boy ingin berbelok ke kiri. Boy segera memutar langkahnya, kamar mereka memang berseberangan.

Di dalam, tanpa menunggu lama, Boy segera menelanjangi diri. Begitu juga dengan Marie. Dengan tubuh sama-sama telanjang, mereka naik ke atas tempat tidur.

”Kamu pengen nenen?” tanya Marie sambil mendekap kepala Boy dan lekas ditaruhnya ke atas gundukan payudaranya.

Tanpa menjawab, Boy segera mencucup dan menciumi dua benda bulat padat itu. Dihisapnya puting Marie dengan begitu rakus sambil tangannya bergerak meremas-remas pelan. Di bawah, penisnya yang sudah ngaceng berat terasa menyundul-nyundul lubang kelamin Marie.

”Boy, ayo masukkan!” pinta perempuan cantik itu. Ia membuka pahanya lebar-lebar sehingga terasa ujung penis Boy mulai memasuki lubangnya.
”Gimana, Mi, didorong gini?” tanya Boy polos sambil berusaha menusukkan penisnya.
”Yah, begitu… oughhh!” Marie melenguh, penis Boy terasa membentur keras, tapi tidak mau masuk. Dengan pengalamannya, Marie bisa mengetahui penyebabnya.

Maka dengan cepat ia bangkit berdiri dan meraih penis Boy, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.

“Ahh, Mi!” Boy menjerit, sama sekali tak menyangka kalau sang bunda akan berbuat seperti itu.

Dan asyiknya lagi, rasanya ternyata begitu nikmat, lebih nikmat daripada dikocok pake tangan. Boy mulai mengerang-erang dibuatnya, tubuhnya kelojotan, dan saat Marie menghisap semakin kuat, iapun tak tahan lagi. Penisnya meledak menumpahkan segala isinya yang tertahan selama ini. Begitu banyak dan kental sekali.

”Ahh,” Marie yang sama sekali tidak menyangka kalau Boy akan keluar secepat itu, jadi sangat kaget. Beberapa sperma si bocah sempat tertelan di mulutnya, sisanya yang sempat ia tampung, lekas ia ludahkan ke lantai.
“M-maaf, Mi.” kata Boy dengan muka memerah menahan nikmat, lelehan sperma tampak masih menetes dari ujung penisnya yang mengental.

Marie tersenyum penuh pengertian, “Tidak apa-apa. Bukan salahmu, sebulan tidak dikeluarkan pasti bikin kamu nggak tahan.”

Penuh kelegaan, Boy menyambut sang bunda yang kini berbaring di sebelahnya.Mereka saling berpelukan dan berciuman. Tapi dasar nafsu remaja, begitu payudara Marie yang besar menghimpit perutnya, sementara paha mereka yang terbuka saling bergesekan, dengan cepat penis Boy mengencang kembali.

“Eh, udah tegang lagi tuh.” kata Marie gembira sambil menunjuk penis Boy yang perlahan menggeliat bangun.
“Iya, Mi.” Boy ikut tersenyum.

Marie mengocoknya sebentar agar benda itu makin cepat kaku dan menegang. Saat sudah kembali ke ukuran maksimal, ia lekas mempersiapkan diri. Rasanya sudah tidak sabar lubang vaginanya yang gatal dimasuki oleh kemaluan muda itu. Marie memejamkan mata saat Boy mulai mendekap sambil terus menciumi bibirnya, ia merasakan bibir kemaluannya mulai tersentuh ujung penis si bocah kecil.

”Tunggu dulu,” Marie menjulurkan tangan, sebentar ia usap-usapkan ujung penis Boy ke bibir kemaluannya agar sama-sama basah, barulah setelah itu ia berbisik,
”Sudah, Boy, masukkan sekarang!” Marie memberi jalan.

Boy mulai mendorong. Pelan Marie mulai merasakan bibir kemaluannya terdesak menyamping. Sungguh luar biasa benda itu. Ohh, Marie benar-benar merasakan kemaluannya nikmat dan penuh sesak. Boy terus mendorong, sementara Marie menahan nafas, menunggu pertautan alat kelamin mereka tuntas dan selesai sepenuhnya.

”Ahh,” Marie mendesah tertahan saat penis Boy terus meluncur masuk, membelah bibir kemaluannya hingga menjadi dua, memenuhi lorongnya yang sempit hingga ke relungnya yang terdalam, sampai akhirnya mentok di mulut rahimnya yang memanas.

Mereka terdiam untuk sejenak, saling menikmati rangsangan kemaluan mereka yang kini sudah bertaut sempurna, begitu erat dan intim. Rasanya sungguh luar biasa. Boy bergidik sebentar saat merasakan Marie yang mengedutkan-ngedutkan dinding rahimnya, memijit batang penisnya dengan remasan pelan. Boy membalas dengan kembali mencium bibir dan payudara sang bunda, sambil tangannya tak henti-henti meremas-remas bulatannya yang padat menggoda.

Beberapa detik berlalu. Saat Marie sudah merasa cukup, iapun meminta Boy untuk mulai menggerakkan pinggulnya.

”Pelan-pelan aja, nggak usah buru-buru. Kita nikmati saat-saat ini. Abi-mu masih lama pulangnya, dia lembur malam ini.” kata Marie.

Mengangguk mengerti, Boy pun mulai memompa pinggulnya. Gerakannya begitu halus dan pelan, meski terlihat agak sedikit kaku. Maklum, masih pengalaman pertama. Tapi itu saja sudah sanggup membuat Boy merintih keenakan, ia benar-benar cepat terbawa ke puncak kenikmatan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Nafasnya sudah memburu, terengah-engah. Sementara tubuhnya mulai bergetar pelan.

Marie yang melihatnya jadi panik. ”Tahan dulu, Boy. Tahan sebentar!” bisiknya, ia tidak mau permainan ini berhenti begitu cepat. Ia baru mulai merasa nikmat.

Tapi apa mau dikata, jepitan kemaluan Marie terlalu nikmat bagi seorang perjaka seperti Boy. Diusahakan seperti apapun, bocah itu sudah tak mampu lagi. Maka hanya dalam waktu singkat, Boy pun menjerit dan kembali menumpahkan spermanya. Kali ini di dalam kemaluan Marie. Cairannya yang kental berhamburan saat Boy ambruk menindih tubuh bugil sang bunda dengan nafas ngos-ngosan.

”Ah, Boy!” meski terlihat kecewa, namun Marie berusaha untuk memakluminya.

Ia belai punggung Boy dengan lembut. Penis bocah itu yang masih menancap di lorong vaginanya, masih terasa berkedut-kedut, menguras segala isinya. Marie merasakan liangnya jadi begitu basah dan penuh.

Mereka terus berpelukan untuk beberapa saat hingga tiba-tiba Marie menjerit kaget, ”Ah, Boy!” tubuh montoknya sedikit terlonjak saat merasakan penis Boy yang tiba-tiba saja kaku dan menegang kembali.

”Cepet banget!” pujinya gembira. Diciumnya bibir bocah itu sebagai hadiah.

Boy cuma tersenyum dan kembali memperbaiki posisi. Ia sudah siap untuk beraksi. Sambil melumat bibir dan leher Marie, ia mulai menggerakkan pinggulnya.Remasan tangannya di payudara sang bunda juga kembali gencar, secepat tusukannya yang kini sudah mulai lancar dan tahan lama.

”Ahhh… terus, Boy. Yah, begitu!” Marie yang menerimanya, merintih dan menggeliat-geliat tak terkendali.

Tubuh montoknya menggelepar hebat seiring goyangan Boy yang semakin kuat. Dengan tusukannya yang tajam, bocah itu membuat vagina Marie menegang dan berdenyut pelan, benar-benar puncak kenikmatan yang belum pernah ia alami selama enam tahun pernikahannya dengan mas Kenbo.

Ohh, sungguh luar biasa. Marie jadi tak ingat apa-apa lagi selain kepuasan dan kenikmatan. Dosa dan neraka sudah lama hilang dari pikirannya. Hati dan kesadarannya sudah tertutup oleh nafsu birahi.

“Boy, ooh… oohh… terus… arghhh…” Marie sendiri terkejut oleh teriakannya yang sangat kuat. Pelan tubuhnya bergetar saat cairan kenikmatannya menyembur keluar.

Boy yang juga kesetanan terus memompakan kemaluannya berulang kali, dan tak lama kemudian ikut menggelepar. Wajahnya yang tampan menengadah, sementara kedua tangannya mencengkeram dan menekan payudara Marie kuat-kuat. Di bawah, spermanya yang kental kembali meledak di dalam vagina sang bunda, memancar berulang kali, hingga membuat rahim Marie jadi begitu basah dan hangat.

”Oh,” Marie melenguh merasakan banyak sekali cairan kental yang memenuhi liang vaginanya.

Setelah selesai, Boy memiringkan tubuh sehingga tautan alat kelamin mereka tertarik dan terlepas dengan sendirinya. Tangannya kembali meremas lembut payudara Marie sambil bibirnya menciumi wajah wanita yang sangat dikasihinya ini. Marie senang dengan perlakuan Boy terhadap dirinya.

“Boy, kamu sungguh luar biasa.” puji Marie kepada putra angkatnya.
”Cepet banget tegangnya, padahal barusan keluar.”
Boy tersenyum, ”Trims, Umi. Boy senang bisa membuat Umi bahagia.”
”Tapi kamu juga nikmat kan?” goda Marie.
”Tentu saja, Mi.” Boy mengangguk.
“Mau lagi?” tawar Marie.
”Umi nggak capek?” Boy bertanya balik.
”Seharusnya umi yang tanya begitu,” sahut Marie, dan mereka tertawa berbarengan.

Sejak saat itu, hubungan mereka pun berubah. Bukan lagi seorang ibu dan anak, tetapi berganti menjadi sepasang kekasih yang selalu berusaha untuk memuaskan nafsu masing-masing. Kapanpun dan dimanapun.

Prestasi Boy kembali meningkat, bahkan lebih dari sebelumnya. Sementara Marie, mendapat hikmah yang paling besar. Ia kini hamil, sudah jalan 2 minggu. Sudah jelas itu anak siapa, tapi sepertinya mas Kenbo tidak curiga.

Malah laki-laki itu kelihatan sangat senang dan gembira, sama sekali tidak curiga saat Marie kelepasan ngomong, ”Selamat, Fiq, sebentar lagi kamu akan menjadi seorang ayah,”