Tawaran Kehangatan dari Istri Kakak Ipar

  • PART 13

“Dan Akhir…”

Kesal sekali aku malam ini karena untuk kesekian kalinya aku mengetuk kamar tidur kekasihku, seperti yang biasa aku lakukan bila ingin mengunjunginya, tapi hanya suara batuk yang terdengar dari dalam kamar itu. Padahal aku ingin dia membuka pintu dan membiarkan aku menikmati hangat tubuhnya.

Aku tahu ada suaminya di kamar itu karena tadi aku mengintip ke dalam kamar itu, tapi sudah terlalu lama permainan mereka selesai. Tidak bisakah dia mengusir suaminya? Menyuruh suaminya kembali ke toko?

Aku cemburu. Dadaku penuh rasa marah. Emosiku meletup-letup. Apalagi tadi ketika menonton istri kakak iparku yang telanjang mengangkang ditindih oleh suaminya, ketika istri kakak iparku dengan penuh nafsu meladeni ciuman suaminya, ketika lidah-lidah mereka saling melilit penuh birah, ketika mendengar teriakan dan desahan istri kakak iparku setiap kali kontol suaminya mendesak masuk ke lubang kemaluannya, sungguh aku tidak tahan.

Ingin rasanya aku mendobrak pintu rumah itu, menerobos masuk ke kamar itu, dan mengusir suaminya. Tapi, pintu itu terkunci. Padahal pintu itu tidak pernah dikunci jika aku hendak mengunjunginya. Padahal istri kakak iparku tahu kalau aku hendak mendatanginya malam ini. Ada apa ini? Kenapa istri kakak iparku harus mengunci pintu? Apakah istri kakak iparku takut dengan kedatanganku?

Istri kakak iparku pasti tahu kalau sudah dua minggu aku tidak mendapatkan jatah darinya dan selama dua minggu itu pula aku selalu meminta jatah itu, meskipun selalu ditolaknya karena ada keramaian di rumah tetangga yang tidak memungkinkan aku menyelundupkan diri ke rumahnya. Kutawarkan untuk berkencan di hotel, tapi istri kakak iparku menolaknya.

Kembali aku ketuk dinding kamarnya. Lebih lama dan cukup keras aku mengetuknya agar istri kakak iparku tahu aku sudah menunggu lama. Dan akhirnya ada langkah kaki terdengar dari dalam kamar. Segera aku keluar dari bawah rumahnya. Cepat aku melangkah menuju teras belakang rumahnya, berharap istri kakak iparku berdiri di ambang pintu, menyambut aku.

Setiba di teras belakang rumahnya, pintu rumah itu masih menutup. Bersembunyi aku di antara drum-drum air yang ada di teras itu, menunggu. Lampu dapur menyala. Terdengar istri kakak iparku batuk-batuk, lalu pintu pun membuka dan sang kekasih berdiri di ambang pintu. Aku keluar dari persembunyianku, melangkah mendekatinya. Setelah menengok ke dalam rumah, istri kakak iparku melangkah keluar dari pintu. Ditutupnya kembali pintu. Hanya remang lampu teras yang lima watt menemani kami.

“Eceu tidak cinta lagi aku?”Api cemburu mengiringi ucapanku.

Istri kakak iparku memeluk aku, tapi kemarahan memenuhi kepalaku. Jantungku berdetak keras, napas tersengal menahan amarah. Dadaku penuh siap meledak.

“Jangan marah, Amir.”Erat sekali dia memeluk aku.“Aku kan sudah datang.”

“Kenapa lama keluarnya?”Terbata-bata aku berucap, berusaha meredam emosi.

“Ada suamiku di dalam.”

“Memangnya kenapa?”Kutarik lepas pelukannya. Kutatap dia. Dia pun mendongak menatap aku.

“Suamiku sepertinya tahu hubungan kita, Amir,”ucapnya pelan.

“Kenapa begitu?”

“Malam ini Akang beda.”Pandangannya beralih menatap lantai.”Dia minta maaf ke saya. Dia minta maaf karena sering menyakiti hati saya, pernah berbuat salah. Dia pun minta maaf karena perlakuan jahat adik-adiknya ke saya.”

“Malam ini Akang begitu romantis, Amir. Lembut sekali dia.”Kuseka airmata yang menggantung di pelupuk mata.”Anehnya, malam ini Akang menggauli saya sampai tiga ronde, sepertinya dia ingin membuat saya senang.”

“Aku juga bisa melayani Eceu berkali-kali, kalau Eceu minta.”Kembali rasa cemburu membakarku.“Kenapa? Aku kurang jantan?”

“Bukannya begitu, Amir.”Mundur dia menjauhiku.“Dia tahu hubungan kita. Itu yang penting.”

“Terus kalau dia tahu, kenapa?”

“Kita mesti hati-hati,”ucapku.

“Tapi, aku sudah di sini, Ceu. Eceu tidak mau melayaniku?”Kutarik dia dalam pelukanku. Aku ciumi dia. Tapi, istri kakak iparku sepertinya enggan aku cium. Wajahnya dia buang ke kiri dan ke kanan.

Rasa terhina membuncah di dada dan ditambah api cemburu, membuatku aku meradang. Dalam kegelapan malam, di teras belakang rumah, di antara drum-drum air, aku dorong istri kakak iparku bersandar di dinding. Kuremas buah dadanya yang masih berada dibalik dasternya.

Istri kakak iparku coba melepaskan diri, tapi tak aku hiraukan. Gelap mataku. Tanganku masuk ke dalam dasternya. Aku cari celana dalam yang menutupi selangkangannya dan aku tarik kuat-kuat hingga robek. Setelah itu, celana training yang aku pakai, aku pelorotkan hingga ke paha, lalu aku keluarkan kontolku dari dalam celana dalam. Kembali aku dekati dia, merengkuh lengannya agar dia tegak. Istri kakak iparku menatap aku takut.

Cepat dasternya aku angkat meninggi. Kupegang paha kirinya dan aku angkat tinggi-tinggi. Dengan bantuan tanganku, aku arahkan kontolku ke lubang kemaluannya.

“Ah!”Keras istri kakak iparku menjerit ketika kudorong kontolku masuk ke lubang kemaluannya. Seret sekali lubang kemaluannya, tapi tetap aku paksakan kontolku masuk. Tidak terdengar desahan dari istri kakak iparku, tapi nanti kalau lubang kemaluannya sudah banyak cairan, istri kakak iparku pasti akan menikmatinya, itu yang aku pikirkan.

Lenguhannya terdengar tertahan dan terus saja aku maju mundurkan kontolku. Ketika kontolku mulai berdenyut-denyut, aku lepaskan kontolku dari kedalaman lubang kemaluannya. Aku balikkan tubuhnya menghadap ke dinding. Aku dorong dia merunduk. Terdengar jeritan dari istri kakak iparku ketika aku tusuk kemaluannya. Tetap seret lubang kemaluannya, maka aku pegang pantatnya dan kupaksakan kontolku menusuki kemaluannya.

Akhirnya sperma mulai mengaliri batang kontolku. Tubuhku menegang, tapi tetap kontolku berada didalam, menunggu sperma itu muncrat dari kontolku.

“Ah…”Merinding tubuh ini menikmati kontolku yang menembakkan beberapa kali semprotan sperma. Begitu kontolku berhenti menyemprotkan sperma, terduduk aku di tangga teras belakang. Nafasku ngos-ngosan. Keringat membasahi pakaian dan keningku.

Kusimpan kembali kontolku ke dalam celana dalam. Kutatap istri kakak iparku yang masih bersandar di dinding kamar, berdiri dalam kegelapan. Dasternya tidak karuan.

“Eceu beda malam ini?”Rasa kesal kembali hadir.

Kesal karena istri kakak iparku tidak merespon keliaranku. Kesal karena dia seperti takut melayaniku. Kesal karena dia hanya diam merunduk.

“Eceu sepertinya tidak suka aku datang.”Berdiri aku dan kutarik celana training meninggi.”Tidak rela melayaniku.”

Lalu istri kakak iparku dengan suara terbata-bata berucap,”Sebaiknya…, Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi.”

“Apa? Apa kata Eceu?”Tidak percaya aku mendengarnya.

“Kita sudahi saja hubungan ini.”Mantap sekali suara istri kakak iparku.”Ini demi kebaikan saya, Amir, anak-anak, keluarga kita.”

“Eceu bergurau?”Masih tidak percaya aku.

“Tidak, Amir, tidak.”Istri kakak iparku menatap aku.

“Eceu coba berpikir yang jernih,”ucapku,”Jangan terburu-buru ambil keputusan.”

Kucoba memeluknya, tapi istri kakak iparku menahan lajuku.”Sudah lama saya mau ambil keputusan ini. Terlalu berisiko untuk dilanjutkan.”

Malam ini wajah istri kakak iparku terlihat aneh di mataku. Lalu, “Aku pulang dulu. Coba Eceu renungkan lagi. Berfikir baik-baik agar bisa mengambil keputusan terbaik.”

Dan istri kakak iparku memang sudah mentapkan keputusannya. Malam itu menjadi malam terakhir aku mencumbunya. Sejak malam itu, istri kakak iparku tidak pernah hadir untukku. Setiap aku mengetuk diinding kamar tidurnya, tidak pernah terdengar batuk dari kamar itu. Pintu rumahnya pun selalu terkunci.

Tidak pernah lagi kutemui dia yang mencuci atau menjemur pakaian. Tidak ada lagi sang kekasih yang sengaja menunggu aku di teras belakang rumahnya setiap kali aku mengambil air untuk mandi. Istri kakak iparku seperti takut bertemu aku. Bahkan, ketika kami berpapasan, dia akan cepat menghindar dari aku.

Sialan! Apa salah aku ini. Rasanya aku tidak pernah kasar kepadanya, tidak pernah memukulnya ataupun berkata menyakitkan. Ada apa gerangan? Aku tidak faham.

Lebih sial lagi karena suaminya memanggil saudaranya dari kampung untuk menjaga toko. Karena saudaranya itu tidur di toko, maka sekarang Akang, suami istri kakak iparku, bisa tidur di rumah dan bisa leluasa menggauli kekasihku itu setiap dia mau. Sungguh berat peluang aku untuk kembali merebut kekasihku itu.

Bila membayangkan sang kekasih yang telanjang sedang ditindih orang lain, meskipun itu suaminya sendiri; membayangkan kemaluannya yang berbulu halus itu disedot, dicumbu, dan dipompa oleh kontol orang lain, meskipun itu suaminya sendiri; membayangkan buah dadanya yang mungil dan ranum itu disedot dan diremas, meskipun oleh suaminya sendiri, sungguh sakit hati ini.

Sekarang aku hanya bisa berdoa agar istri kakak iparku berubah pikiran sehingga dia mau kembali ke pelukanku untuk menghabiskan malam-malam berdua, untuk berbagi kehangatan, untuk menyatukan keringat, dan untuk menikmati surga dunia seperti dulu yang selalu kami lakukan. Amiin.(wk)

T A M M A T